MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“GOOD GOVERNANCE”
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen
Pengampu: Neng Sri Nuraeni
Disusun
oleh :
Mayuriko
Olivia Pertiwi (111401630000)
Kusrini (11140163000020)
Annisa Fitri Komariah
(11140163000026)
Program Studi Pendidikan Fisika
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan yang
berjudul “Good Governance”, makalah
ini membahas tentang informasi Good
Governance dan mengkritisi perkembangannya di Indonesia.
Kami berharap
dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan lebih dan bermanfaat
bagi para pembaca, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
kat asempurna sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.
Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan
makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai kita semua.
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
Bab II Pembahasan.............................................................................................. 2
A. Pengertian Good Governance............................................................ 2
B. Latar Belakang Good Governance...................................................... 3
C. Prinsip-prinsip Dasar Good Governance............................................ 4
D. Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance.................................... 10
E. Good Governance
di Indonesia......................................................... 13
Bab III Penutup.................................................................................................. 17
A. Kesimpulan....................................................................................... 17
B. Saran................................................................................................. 17
Daftar Pustaka................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan suatu negara tidak
lain untuk mewujudkan masyarakat dengan kehidupan yang baik (Good Life),
dimana yang terdapat dalam fungsi negara yaitu melaksanakan kepentingan
rakyat dengan norma yang berlaku untuk mewujudkan
cita-cita negara. Masyarakat sebagai pelaksana dan tingkatan pemerintah negara
sebagai pengelola sumber daya pembangunan. Terjadi berbagai permasalahan
seperti krisis ekonomi di Indonesia antara lain menunjukkan tatacara
penyelenggara pemerintah dalam mengelola sumber daya pembangunan yang tidak
diatur dengan baik. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah yang lain yang
menyebabkan masyarakat menjadi terhambat dalam proses pengembangan ekonomi
Indonesia, sehingga dampak negative seperti peningkatan penganguran, jumlah
penduduk miskin yang bertambah, tingkat kesehatan yang menurun, dan bahkan
konflik-konflik yang terjadi diberbagai daerah.
Penyelenggara pemerintah yang baik sangat dibutuhkan yang dimana menjadi
landasan pembangunan dan pembuatan kebijakan negara yang demokratis dalam era
globalisasi. Oleh karena itu tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan
agar segala permasalahan yang timbul dapat diminimalkan , dipecahkan dan juga
dipulihkannya segala bidang dalam masyarakat agar dapat berjalan dengan baik
dan lancar. Disadari, dalam mewujudkan tata pemerintahan membutuhkan waktu yang
tidak singkat dan upaya yang didukung dari segala pihak dan dilakukan secara
terus – menerus. Selain itu aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat harus
bersatu dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dan latar belakang good governance?
2.
Bagaimana prinsip-prinsip dan konsepsi good governance?
3.
Bagaimana penerapan good governance di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Good
Governance
Good
Governance sebagai kriteria Negara-negara yang
baik dan berhasil dalam pembangunan, bahkan dijadikan semacam kriteria untuk
memperoleh kemampuan bantuan optimal dan Good Governance dianggap
sebagai istilah standar untuk organisasi publik hanya dalam arti pemerintahan.
Secara konseptual “good” dalam bahasa Indonesia “baik” dan “Governance”
adalah “kepemerintahan”. Menurut LAN (Lembaga Administrasi Negara) dalam
Sedarmayanti (2008:130) mengemukakan arti good dalam good governance
mengandung dua arti:
1.
Nilai-nilai yang menjunjung tinggi
keinginan / kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat
yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan
dan keadilan sosial.
2.
Aspek-aspek fungsional dari
pemerintahan efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
Berbagai pendapat yang
dikemukakan para ahli dalam memahami arti good governance:
1.
Robert Charlick dalam Pandji Santosa
(2008:130) mendefinisikan good governance sebagai pengelolaan segala
macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan atau
kebijakan yang baik demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.
2.
Bintoro Tjokroamidjojo memandang Good
Governance sebagai “Suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut
sebagai administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral
yang menjadi Agent of change dari suatu masyarakat berkembang atau develoving didalam negara berkembang”
efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif
diantara domaindomain negara, sektor swasta, dan masyarakat[1].
3.
Menurut
Bank Dunia (World Bank), Good governance merupakan cara kekuasaan
yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan
masyarakat (Mardoto, 2009).
4.
Menurut
UNDP (United National Development Planning), Good governance merupakan praktek
penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara
politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas,
ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu[2]:
a.
Kesejahteraan
rakyat (economic governance).
b.
Proses
pengambilan keputusan (political
governance).
c.
Tata
laksana pelaksanaan kebijakan (administrative
governance) (Prasetijo, 2009).
Berdasarkan
uraian pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa good
governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi
yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan
masyarakat.
B.
Latar
belakang Good Governance
Lahirnya wacana good governance berakar dari
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam praktek pemerintahan,seperti Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN)[3].
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat tidak transparan,
nonpartisipatif serta sentralisasi , menumbuhkan rasa tidak percaya dikalangan
masyarakat bahkan menimbulkan antipati terhadap pihak pemerintah. Masyarakat
sangat tidak puas terhadap kinerja pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai
penyelenggara urusan publik. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan akhirnya
melahirkan tuntutan dari masyarakat untuk mengembalikan dan melaksanakan
penyelenggaraan pemerintah yang ideal, sehingga Good Governance tampil sebagai
upaya untuk menjawab berbagai keluhan masyarakat atas kinerja birokrasi yang
telah berlangsung.
C.
Prinsip-prinsip Dasar Good Governance
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang
baik terdiri dari[4]:
1.
Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat,
tepat dengan biaya yang terjangkau.
2.
Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para
pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.
Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal
balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4.
Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik
yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan
akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan
disiplin.
5.
Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk
mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung.
6.
Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal
dan bertanggung jawab.
7.
Supremasi hukum dan dapat diterima
oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa
pengecualian.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan
dalam dunia usaha (corporate) dan
adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan
pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen profesionalnya maka
diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama
dalam governance korporat yaitu: transparansi, akuntabilitas, fairness,
responsibilitas dan responsivitas.[5]
Transparansi bukan berarti ketelanjangan, melainkan keterbukaan, yakni
adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan
eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban
secara bertingkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan
direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara
luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas
secara sempit dapat diartikan secara finansial. Fairness agak sulit diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam
konteks moral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam
menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.[6]
Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam
konteks ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika
korporat, termasuk dalam hal ini etika professional dan etika manajerial.
Prinsip-prinsip Good Governance
di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi suatu organisasi public
bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut UNDP
melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkna bahwa adanya
hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat
disusun sembilan pokok karakteristik Good
Governance yaitu[7]:
1.
Partisipasi (Participation)
Setiap warga
Negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung
maupun melalui intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun
atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2.
Penerapan Hukum (Fairness)
Kerangka hukum
harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi
manusia.
3.
Transparansi (Transparency)
Transparansi
dibangun atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4.
Responsivitas (Responsiveness)
Lembaga-lembaga
dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.
5.
Orientasi (Consensus
Orientation)
Good governance
menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memeproleh pilihan terbaik
bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun
prosedur-prosedur.
6.
Keadilan (Equity)
Semua warga
Negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan
atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.
Efetivitas (Effectivness)
Proses-proses
dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunkan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8.
Akuntabilitas (Accountability)
Para pembuat
keputusan dalam pemerintahan, secor swasta dan masyarakat (civil society)
bertanggung jawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas
ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah
keputusan tersebut untuk kepentingan atau eksternal organisasi.
9.
Strategi Visi (Strategic
Vision)
Para pemimpin
dan public harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia
yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
pembangunan semacam ini.
Prinsip-prinsip di atas adalah merupakan suatu karakterisitik yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan good
governance yang berkaitan dengan control dan pengendalian, yakni
pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar cara dan penggunaan cara
sungguh-sungguh mencapai hasil yang dikehendaki shareholders.
Masyarakat menyelenggarakan Pemilu untuk menentukan siapa yang menyelenggarakan
Negara dan itu adalah pemerintah. Pemerintah adalah ibarat manajer professional
yang disewa oleh rakyat untuk menyelenggarakan organisasi negara untuk
sebesar-besarnya kemanfaatan rakyat. Penerapan good governance kepada pemerintah adalah ibarat masyarakat
mamstikan bahwa mandate, wewenang hak da kewajibannya telah dipenuhi dengan
sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa arah ke depan dari good governance
adalah membangun the professional
government, bukan dalam arti pemerintah yang dikelola oleh para teknokrat.
Namun oleh siapa saja yang mempunyai kualifikasi
professional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang mampu
mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dan dalam melaksanakannya berlandaskan
etika dan moralitas yang tinggi.
Berkaiatan dengan pemerintah yang dikelola siapa saja yang mempunyai
kualifikasi professional mengarah kepada kinerja SDM yang ada dalam organisasi
public sehingga dalam penyelenggaraan good
governance didasarkan pada kinerja organisasi publik, yakni responsivitas
(responsiveness), responsibilitas (responsibility), dan akuntabilitas (accountability).
Reponsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-
program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat[8].
Berdasarkan pernyataan Tangkilisan di atas maka disebutkan bahwa
responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan
yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja
organisasi tersebut akan dinilai semakin baik. Responsivitas dimasukkan sebagai
salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan
kemampuan suatu organisasi public dalam menjalankan misi dan tujuannya,
terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang sangat rendah
ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat.
Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan
tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan
sendirinya memiliki kinerja yang jelek.
Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan yang implisit atau eksplisit. Semakin
kegiatan organisasi public itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan oraganisasi, maka kinerjanya
akan dinilai semakin baik. Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar
pejabat poltik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat poltik yang
dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut
karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan
kepentingan rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai
baik apabila seluruhnya atau setidakanya sebagian besar kegiatannya didasarkan
pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat.
Semakin banyak tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat
politik maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.
Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi public atau pemerintah seperti pencapaian
target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti
nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi
public memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan
sesuai dengan nilai dan norma yang berekembang dalam masyarakat.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental
dalam good governance yang harus
diperhatikan yaitu[9]
:
1.
Partisipasi (participation)
Semua warga
masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun
melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi
menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan
berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.
2.
Penegakan Hukum (rule
of law)
Partisipasi
masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik
memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan
hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah
menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses
mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk
menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :
a.
Supremasi hukum
b.
Kepastian hukum
c.
Hukum yang responsitif
d.
Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif
e.
Independensi peradilan
3.
Transparansi (transparency)
Transparansi
(keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance.
Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia
telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk
itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik.
Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang
harus dilakukan secara transparan, yaitu :
a.
Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan
b.
Kekayaan pejabat publik
c.
Pemberian penghargaan
d.
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan
kehidupan
e.
Kesehatan
f.
Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g.
Keamanan dan ketertiban
h.
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan
masyarakat
4.
Responsif (responsive)
Affan
menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya,
jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif
mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian
melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
5.
Konsesus (consesus)
Prinsip ini
menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan
sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik
bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang
terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
6.
Kesetaraan (equity)
Clean and good
governance juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh
oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis
bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
7.
Efektivitas dan efisiensi
Konsep
efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda,
yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat
publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks
hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan
lapisan sosial.
8.
Akuntabilitas (accountability)
Asas
akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat
yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik,
akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki
pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai
kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih
tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban
pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.
9.
Visi Strategis
Visi strategis
adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang
yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki
kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh
lembaga yang dipimpinnya.
Sepuluh
Prinsip Good Governance menurut KNKG
adalah[10]
:
1.
Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para
pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2.
Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan
keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
3.
Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para
penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4.
Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral
penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat,
tepat dengan biaya terjangkau.
5.
Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin terselenggaranya pelayanan
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal
& bertanggung jawab.
6.
Transparasi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan didalam memperoleh informasi.
7.
Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi
setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8.
Wawasan ke depan: Membangun daerah berdasarkan visi
& strategis yang jelas & mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses
pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap
kemajuan daerahnya.
9.
Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk
mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun
tidak langsung.
10. Penegakkan Hukum: Mewujudkan penegakan hukum yang adil
bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
D.
Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance
Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan
mencapai keadaan yang baik dan sinergi antar pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan, dan
ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapaai good
governance adalah adanya trasparansi, akuntabilitas, partisipasi,
pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Sebagai bentuk
penyelenggaraan Negara yang baik maka harus ada keterlibatan masyarakat di
setiap jenjang proses pengambilan keputusan[11].
Konsep good governance dapat
diartikan acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan social ekonomi
yang baik.
Berdasarkan uraian diatas
dalam perjalanan penerapan good
governance hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal
type of governance, padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh
banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun
relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Beberapa ahli malah tidak
setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan
nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah
democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari
(partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate,
akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan
masyarakat. Konseptualisasi ini secara substantif tidak berbeda jauh dengan
konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan dimensi
pasar dalam governance.
Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya
dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan
hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku
bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini
sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas
ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, aktor tersebut adalah
dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan
masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah
pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah
banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam
hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat
hegemoni terma “good” oleh Barat) dan
dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Secara konseptual keberhasilan
penerapan good governance di berbagai
dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi
rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori.
Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta
merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti
konkrit yang tidak bisa dipecahkan oleh good
governance.
Bila kita memahami kembali
kutipan bahwa Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB
sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik habis-habisan good governance yang dikatakannya
sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good
governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara
kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang
Presiden, kritik tersebut mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep
Sound Governance (SG) yang sekaligus
membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good governance berhasil menginklusifkan
hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah
menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru
yang jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan
epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good governance.
Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound Governance.
Pertama,
dari evaluasi terhadap pelaksanaan good
governance bahwa aktor kunci yang berperan adalah terfokus pada tiga aktor
(pemerintah, pasar dan civil society), dan good
governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah,
swasta dan masyarakat secara domestik. Sound
Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor,
yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor
yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi
global, organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya
berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di
negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat
naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga
elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia
internasional.[12]
Kedua,
bermula dari kritik terhadap identitas dari good
governance kata “good” menjadi
sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan.
Term “good” dalam good governance
adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru
mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan
tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang
telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia, sebelum
digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam
pengelolaan pemerintahan[13].
Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem
pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan
ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal
ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai
perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem
pemerintahan. Sound governance muncul
untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam
mewarnai konsep tata pemerintahan.
Ketiga, dalam
pelaksanaan good governance untuk
berjalannya proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana
pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy,
responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency,
accountability, strategic vision. Sound Governance mempunyai pandangan
berbeda dan lebih melihat pada proses menuju tercapainya tujuan, dari pada
membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai
tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih menekankan perlunya
prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan
akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas
dan ini dibutuhkan “inovasi” yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek
pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas
bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna
term “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan
terhadap kenyataan keragaman (diversity).
Untuk itu Sound governance dalam tata
pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali
peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni term
“good” oleh Barat) dan dampak dari
kekuatan kooptatif internasional. Menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep
non-barat sebenarnya banyak yang applicable,
khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi
atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata,
sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal
tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan[14].
E.
Good Governance di Indonesia
Pada awal 2007, Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyempurnakan
Pedoman Umum Good Coorporate Governance
(GCG) dan merintis pembuatan Pedoman Good
Public Governance (Combined Code)
yang pertama di Indonesia, dan mungkin bahkan di dunia. Ini merupakan sebuah
terobosan dan bukti kepedulian terhadap penciptaan kondisi usaha yang lebih
baik dan menjanjikan di Indonesia jika diterapkan dengan konsisten. Pemerintah
melalui perangkatnya juga terlihat melakukan banyak pembenahan untuk
memperbaiki citra pemerintah dan keseriusannya dalam meningkatkan praktik good public governance, melalui
pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian telah cukup banyak
temuan dan kasus yang diangkat ke permukaan dan diterapkan enforcement yang
tegas[15].
Indonesia di tengah dinamika perkembangan
global maupun nasional, saat ini menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan
perhatian serius semua pihak. Good governance atau tata pemerintahan
yang baik, merupakan bagian dari paradigma baru, yang berkembang dan, memberikan
nuansa yang cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi, seiring dengan
tuntutan era reformasi. Situasi dan kondisi ini menuntut adanya kepemimpinan
nasional masa depan, yang diharapkan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia
mendatang. Perkembangan situasi nasional dewasa ini, di cirirkan dengan tiga
fenomena yang dihadapi, yaitu[16]:
1.
Permasalahan yang semakin kompleks (multidimensi )
2.
Perubahan yang sedemikian cepat (regulasi kebijakan
dan aksi-reaksi masyarakat)
3.
Ketidakpastian yang relatif tinggi (bencana alam yang
silih berganti, situasi ekonomi yang tidak mudah di prediksi, dan perkembangan
politik yang up and down).
Kesenjangan proses komunikasi politik yang
terjadi di Indonesia antara pemerintah dan rakyatnya, maupun partai yang
mewakili rakyat dengan konstituennya menjadikan berbagai fenomena permasalahan
sulit untuk di pahami dengan logika awam masyarakat, seperti[17]:
1.
Indonesia kaya raya potensi Sumber Daya Alam(SDA),
mengapa banyak yang miskin?
2.
Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan naik drastis
dalam tiga tahun terakhir ini, dari 23 trilyun (2003) menjadi 51 trilyun lebih
(2007), mengapa jumlah penduduk miskin justru meningkat dari 35,10 juta (2005)
menjadi 39,05 juta (2006) ? Bukankah bila anggarannya di tambah dengan tujuan
untuk menanggulangi kemiskinan, jumlah penduduk miskin seharusnya dapat
berkurang.
3.
Berikutnya, produksi pertanian konon surplus
(meningkat) 1,1 juta dan bahkan kita oernah berswasembada pangan. Mengapa harga
beras membumbung tinggi? Mengapa harus import terus? Semua ini membuat
masyarakat pusing tujuh keliling karena tidak memahami kebijakan nasional.
Komunikasi politik ke bawah, secara efektif belum terjadi,
sehingga hanya mengandalkan informasi dari berbagai media massa dengan variatif
dan terkadang bisa berbau provokatif. Dalam situasi masyarakat seperti itu
(kebingungan informasi), masyarakat tak tahu apa itu good governance.
Sekalipun pemerintah berusaha gencar memasyarakatkannya, namun
proses dan cara yang salah dalam berkomunikasi justru akan di sambut dengan
apatisme masyarakat. Dalam situasi masyarakat yang sedang belajar berdemokrasi,
komunikasi politik yang transparan, partisipasi, dan akuntabilitas kebijakan
publik menjadi sangat penting. Ini artinya, good governance menemukan
relevansinya.
Laporan Global Competitiveness Report yang dipublikasikan oleh World
Economic Forum (WFF) yang menganalisis daya saing ekonomi dengan
pendekatan, yakni pendekatan pertumbuhan ekonomin (OCI) dan pendekatan mikro
ekonomi (MCI) menunjukkan bahwa peringkata daya saing perekonomian Indonesia (Growth
Competitiveness Index) merosot lagi dari urutan ke 64 di tahun 2001 ke
urutan 67 (dari 80 negara) di tahun 2002, dan daya saing mikro ekonomi (MCI)
turun sembilan tingkat, dari urutan ke 55 menjadi urutan ke 63. Sebelumnya
sebuah survey yang dilaporkan pada bulan Juni tahun 2001, yang di lakukan oleh Political
and economic Risk consultancy (PERC), menempatkan Indonesia dalam kelompok
dengan resiko politik dan ekonomi terburuk di antara 12 negara Asia bersama
Cina dan Vietnam. Di lihat dari kebutuhan dunia akan usaha, kepercayaan
investor yang menuntut adanya corporate governance berdasarkan
prinsip-prinsip dan praktek yang di terima secara Internasional (Internasional
Best Practice), maka terbentuknya komite internasional mengenai kebijakan corporate
governance, National Comittee on Corporate Governance (NCCG) di bulan
Agustus tahun 1999 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah perkembangan Good
Governance di Indonesia.
Secara riil, melihat data investasi ke
Indonesia selama 2007, ada perkembangan luar biasa, karena realisasi PMA naik
lebih dari 100%, dengan nilai realisasi investasi yang menembus US$9 miliar.
Namun, penilaian dari lembaga-lembaga internasional sepertinya tidak ada
perubahan yang signifikan dalam penerapan good governance secara konsisten.
Berdasarkan survei World Bank 2007, ada perbaikan dalam situasi bisnis di
Indonesia. Misalnya pada pembentukan usaha baru, Indonesia telah menunjukkan
reformasi positif dengan percepatan pemberian persetujuan lisensi usaha dari
Departemen Kehakiman dan simplifikasi persyaratan usaha.
Selain itu, Indonesia telah melakukan pencatatan semua kreditur dalam “credit
registries”, dan memperbesar pagu kredit hampir lima kali lipat. Ini tentu akan
memudahkan para entrepreneur untuk menambah modal usaha, selain menjaga
terhadap risiko pemberian kredit bermasalah. Juga ada perbaikan dalam
peng-eksekusi-an kontrak di Indonesia[18].
Walaupun demikian, dalam urutan peringkat
Indonesia malah menurun. Dari total 175 negara, Indonesia berada di posisi 135,
turun empat peringkat dibandingkan dengan tahun 2006. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa penerapan governance yang baik di Indonesia sudah mengalami
kemajuan. Namun, negara-negara lain tampaknya berlari lebih cepat dibandingkan
dengan Indonesia, karena mereka yakin dengan upaya demikian mereka unggul dalam
menarik investasi.
Survei ACGA (Asian Corporate Governance Association) tentang praktik corporate
governance di Asia juga menyebutkan penerapan indikator CGG di Indonesia
semuanya berada di bawah rata-rata. Indikator ini meliputi prinsip dan praktik
governance yang baik, penegakkan peraturan, kondisi politik dan hukum, prinsip
akuntansi yang berlaku umum, dan kultur[19].
Dalam laporan itu disebutkan beberapa hal
yang baik di Indonesia.
1.
Pertama, walaupun kondisi pelaporan keuangan di
Indonesia belum memadai, kualitas pelaporan keuangan kuartalan ternyata cukup
bagus.
2.
Kedua, Indonesia ternyata juga memiliki kerangka hukum
yang paling .strict dalam memberikan perlindungan untuk pemegang saham
minoritas, khususnya dalam pelaksanaan preemptive rights (hak memesan efek
lerlebih dahulu).
3.
Ketiga, gerakan antikorupsi yang dilakukan pemerintah
telah menunjukkan hasil cukup positif. Ditambah lagi, penyempurnaan Pedoman
Unium CGG, dan Pedoman CGG sektor perbankan yang dilakukan di Indonesia. Namun,
masih menurut laporan tadi, belum banyak yang percaya bahwa pemerintah cukup
serius mendorong penerapannya.
Selanjutnya, seorang pengamat mencoba mengkaji
kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia, beliau menyimpulkan
bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan, apabila Indonesia akan
menciptakan pemerintahan yang baik, antara lain :
1.
Bagaimana relasi antara pemerintah dan rakyat
2.
Bagaimana kultur pelayanan publik
3.
Bagaimana praktek KKN
4.
Bagaimana kuantitas dan kualitas konflik antara level
pemerintah
5.
Bagaimana kondisi tersebut di provinsi dan
kabupaten/kota
Dari kajian yang dilaksanakan, maka
ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien dan tidak efektif, dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Relasi antara pemerintah dan rakyat berpola serba
negara
2.
Kultur pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan
3.
Patologi pemerintah dan kecenderungan KKN
4.
Kecenderungan lahirnya etno politik yang kuat
5.
Konflik kepentingan antar pemerintah
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Good governance adalah
proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab,
serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif
diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.
2.
Prinsip-prinsip
Dasar Good Governance, yaitu:
a.
Akuntabilitas
b.
Pengawasan
c.
Daya
Tanggap
d.
Profesionalisme
e.
Efisiensi
dan Efektivitas
f.
Transparasi
g.
Kesetaraan
h.
Wawasan
ke depan
i.
Partisipasi
j.
Penegakkan
Hukum
3.
Good Governance mengalami perjalanan yang cukup
panjang dan penerapannya masih perlu perbaikan.
B.
Saran
Penerapan Good Governance di Indonesia maupun di
beberapa negara masih perlu adanya evaluasi dan perbaikan demi terselenggaranya
kehidupan bernegara yang lebih baik lagi.
Pembuatan
makalah Good Governance memerlukan
banyak sumber yang mendukung. Banyak sumber yang mencantumkan perbedaan
pendapat, namun masih dalam pokok yang sama, maka diperlukan kecermatan dalam
memilah materi bagi penulis.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press. 2009
Farazmand, Ali. Sound Governance, Piliticy and
Administrative Innovation. Wastport : Praeger. 2004
Nugroho, D. Riant. Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi.
Jakarta:Gramedia. 2004
Tangkilisan, Hessel Nogi S. Manajemen Publik. Jakarta: Grassindo.
2005
Ubaidillah, A dan Abdul Rozaq. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN
Jakarta Press. 2007
Sumber Internet dan
Jurnal:
Anonim. Sepuluh Prinsip Good Governance. 2010. http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html. [Diakses pada
20.15 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]
Anonim. Ilmu Administrasi Negara. 2013. eJournal.
[Diakses pad 13.00 WIB, Rabu, 9 Desember 2015]
Anonim. Pengertian Good Governance menurut Ahli.
2011. http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067. [Diakses pada
16.05 WIB, Sabtu, 5 Desember 2015]
Mardoto. Mengkritisi Good Governance di Indonesia.
2009. http://mardoto.com/2009/04/30/suara-mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/. [Diakses pada 21.00 WIB, Minggu, 6
Desember 2015]
Yenny. Prinsip-prinsip Good Governance. 2013. http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/EJOURNAL%20YENNY%20(03-02-13-06-48-29).pdf
[Diakses pada
20.00 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]
[1] Anonim, Ilmu Administrasi Negara, 2013, 1 (2):
196-209 hal :3, (eJournal)
[2] Anonim, Pengertian Good Governance menurut Ahli,
2011, (http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067)
[3] A. Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2007), Cet. IV, hal, 215.
[4] Yenny, Prinsip-prinsip Good Governance, vol. 1,
2013, p. 3,
(http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/EJOURNAL%20YENNY%20(03-02-13-06-48-29.pdf).
[5] Riant D. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi,
(Jakarta:Gramedia, 2004), hal, 216.
[6] Ibid.
[8] Ibid,
hal, 177.
[9] A. Ubaidillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2007), hal, 218-228.
[10] Anonim, Sepuluh
Prinsip Good Governance, 2010, (http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html).
[11] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta : Gajah Mada Univercity
Press, 2009).
[12] Ali Farazmand, Sound
Governance, Politicy and Administrative Innovation, (Wastport : Praeger,
2004).
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15]
Mardoto, Mengkritisi Good Governance di Indonesia,
2009, (http://mardoto.com/2009/04/30/suara-mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/)
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
terimakasih ijin share
BalasHapussama-sama.. silahkan... semoga bermanfaat...
HapusMksh makalah ya
BalasHapusMakasih kk makalahnya
BalasHapus