Selasa, 24 Mei 2016

Makalah Good Governance



MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
GOOD GOVERNANCE
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Neng Sri Nuraeni



Disusun oleh :
Mayuriko Olivia Pertiwi (111401630000)
Kusrini (11140163000020)
Annisa Fitri Komariah (11140163000026)


Program Studi Pendidikan Fisika
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015



                                                            KATA PENGANTAR

            Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan yang berjudul “Good Governance”, makalah ini membahas tentang informasi Good Governance dan mengkritisi perkembangannya di Indonesia.
            Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan lebih dan bermanfaat bagi para pembaca, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kat asempurna sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai kita semua.













                                                                                                            Penulis

 


Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1
A.      Latar Belakang.................................................................................... 1
B.      Rumusan Masalah.............................................................................. 1
Bab II Pembahasan.............................................................................................. 2
A.      Pengertian Good Governance............................................................ 2
B.      Latar Belakang Good Governance...................................................... 3
C.      Prinsip-prinsip Dasar Good Governance............................................ 4
D.     Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance.................................... 10
E.      Good Governance di Indonesia......................................................... 13
Bab III Penutup.................................................................................................. 17
A.      Kesimpulan....................................................................................... 17
B.      Saran................................................................................................. 17
Daftar Pustaka................................................................................................... 19



BAB I
PENDAHULUAN


A.           Latar Belakang

Tujuan suatu negara tidak lain untuk mewujudkan masyarakat dengan kehidupan yang baik (Good Life), dimana yang terdapat dalam fungsi negara yaitu melaksanakan kepentingan rakyat dengan  norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara. Masyarakat sebagai pelaksana dan tingkatan pemerintah negara sebagai pengelola sumber daya pembangunan. Terjadi berbagai permasalahan seperti krisis ekonomi di Indonesia antara lain menunjukkan tatacara penyelenggara pemerintah dalam mengelola sumber daya pembangunan yang tidak diatur dengan baik. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah yang lain yang menyebabkan masyarakat menjadi terhambat dalam proses pengembangan ekonomi Indonesia, sehingga dampak negative seperti peningkatan penganguran, jumlah penduduk miskin yang bertambah, tingkat kesehatan yang menurun, dan bahkan konflik-konflik yang terjadi diberbagai daerah.
Penyelenggara pemerintah yang baik sangat dibutuhkan yang dimana menjadi landasan pembangunan dan pembuatan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Oleh karena itu tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat diminimalkan , dipecahkan dan juga dipulihkannya segala bidang dalam masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan lancar. Disadari, dalam mewujudkan tata pemerintahan membutuhkan waktu yang tidak singkat dan upaya yang didukung dari segala pihak dan dilakukan secara terus – menerus. Selain itu aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat harus bersatu dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

B.           Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian dan latar belakang good governance?
2.        Bagaimana prinsip-prinsip dan konsepsi good governance?
3.        Bagaimana penerapan good governance di Indonesia?








BAB II
PEMBAHASAN


A.           Pengertian Good Governance

Good Governance sebagai kriteria Negara-negara yang baik dan berhasil dalam pembangunan, bahkan dijadikan semacam kriteria untuk memperoleh kemampuan bantuan optimal dan Good Governance dianggap sebagai istilah standar untuk organisasi publik hanya dalam arti pemerintahan. Secara konseptual “good” dalam bahasa Indonesia “baik” dan “Governance” adalah “kepemerintahan”. Menurut LAN (Lembaga Administrasi Negara) dalam Sedarmayanti (2008:130) mengemukakan arti good dalam good governance mengandung dua arti:

1.        Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan / kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
2.        Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli dalam memahami arti good governance:

1.        Robert Charlick dalam Pandji Santosa (2008:130) mendefinisikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan atau kebijakan yang baik demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.
2.        Bintoro Tjokroamidjojo memandang Good Governance sebagai “Suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agent of change dari suatu masyarakat berkembang atau  develoving didalam negara berkembang” efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domaindomain negara, sektor swasta, dan masyarakat[1].
3.        Menurut Bank Dunia (World Bank), Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009).

4.        Menurut UNDP (United National Development Planning), Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu[2]:
a.        Kesejahteraan rakyat (economic governance).
b.        Proses pengambilan keputusan (political governance).
c.         Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009).

Berdasarkan uraian pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.

B.           Latar belakang Good Governance

Lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam praktek pemerintahan,seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)[3].
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat tidak transparan, nonpartisipatif serta sentralisasi , menumbuhkan rasa tidak percaya dikalangan masyarakat bahkan menimbulkan antipati terhadap pihak pemerintah. Masyarakat sangat tidak puas terhadap kinerja pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan akhirnya melahirkan tuntutan dari masyarakat untuk mengembalikan dan melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang ideal, sehingga Good Governance tampil sebagai upaya untuk menjawab berbagai keluhan masyarakat atas kinerja birokrasi yang telah berlangsung.







C.            Prinsip-prinsip Dasar Good Governance

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari[4]:

1.        Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2.        Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.        Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4.        Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5.        Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6.        Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7.        Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian.

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep  dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen profesionalnya maka diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama dalam governance korporat yaitu: transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas dan responsivitas.[5]

Transparansi bukan berarti ketelanjangan, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan    eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara finansial. Fairness agak sulit diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.[6]

Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika  korporat, termasuk dalam hal ini etika professional dan etika manajerial.

Prinsip-prinsip Good Governance di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi suatu organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut UNDP melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkna bahwa adanya hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat disusun sembilan pokok karakteristik Good Governance yaitu[7]:

1.        Partisipasi (Participation)
Setiap warga Negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung     maupun melalui   intermediasi   institusi   legitimasi   yang   mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2.        Penerapan Hukum (Fairness)
Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.

3.        Transparansi (Transparency)
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4.        Responsivitas (Responsiveness)
Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.

5.        Orientasi (Consensus Orientation)
Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda  untuk memeproleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

6.        Keadilan (Equity)
Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7.        Efetivitas (Effectivness)
Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunkan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8.        Akuntabilitas (Accountability)
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, secor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan atau eksternal organisasi.

9.        Strategi Visi (Strategic Vision)
Para pemimpin dan public harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Prinsip-prinsip di atas adalah merupakan suatu karakterisitik yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan control dan pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar cara dan penggunaan cara sungguh-sungguh mencapai hasil yang dikehendaki shareholders.

Masyarakat menyelenggarakan Pemilu untuk menentukan siapa yang menyelenggarakan Negara dan itu adalah pemerintah. Pemerintah adalah ibarat manajer professional yang disewa oleh rakyat untuk menyelenggarakan organisasi negara untuk sebesar-besarnya kemanfaatan rakyat. Penerapan good governance kepada pemerintah adalah ibarat masyarakat mamstikan bahwa mandate, wewenang hak da kewajibannya telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa arah ke depan dari good governance adalah membangun the professional government, bukan dalam arti pemerintah yang dikelola oleh para teknokrat. Namun oleh siapa  saja yang    mempunyai kualifikasi professional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang mampu mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dan dalam melaksanakannya berlandaskan etika dan moralitas yang tinggi.

Berkaiatan dengan pemerintah yang dikelola siapa saja yang mempunyai kualifikasi professional mengarah kepada kinerja SDM yang ada dalam organisasi public sehingga dalam penyelenggaraan good governance didasarkan pada kinerja organisasi publik, yakni responsivitas (responsiveness), responsibilitas (responsibility), dan akuntabilitas (accountability).

Reponsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program- program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat[8].
Berdasarkan pernyataan Tangkilisan di atas maka disebutkan bahwa responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan suatu organisasi public dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang sangat rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek.

Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi public itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan oraganisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik. Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat poltik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat poltik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa  para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik  dinilai baik apabila seluruhnya atau setidakanya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.

Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi public atau pemerintah seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi public memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berekembang dalam masyarakat.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu[9] :

1.        Partisipasi (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.

2.        Penegakan Hukum (rule of law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :
a.        Supremasi hukum
b.        Kepastian hukum
c.         Hukum yang responsitif
d.        Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif
e.        Independensi peradilan

3.        Transparansi (transparency)
Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :
a.        Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan
b.        Kekayaan pejabat publik
c.         Pemberian penghargaan
d.        Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e.        Kesehatan
f.          Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g.        Keamanan dan ketertiban
h.        Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat

4.        Responsif (responsive)
Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.

5.        Konsesus (consesus)
Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

6.        Kesetaraan (equity)
Clean and good governance juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.

7.        Efektivitas dan efisiensi
Konsep efektivitas  dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial.

8.        Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan  tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.

9.        Visi Strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan  tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.


Sepuluh Prinsip Good Governance menurut KNKG adalah[10] :

1.        Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2.        Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
3.        Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4.        Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau.
5.        Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal & bertanggung jawab.
6.        Transparasi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi.
7.        Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8.        Wawasan ke depan: Membangun daerah berdasarkan visi & strategis yang jelas & mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
9.        Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung.
10.    Penegakkan Hukum: Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.



D.           Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance

Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapaai good governance adalah adanya trasparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan Negara yang baik maka harus ada keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan[11]. Konsep good governance dapat diartikan acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan social ekonomi yang baik.
Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini secara substantif tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan dimensi pasar dalam governance.
Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Secara konseptual keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang tidak bisa dipecahkan oleh good governance.
Bila kita memahami kembali kutipan bahwa Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound Governance.
 Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang berperan adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor, yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional.[12]
Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term “good” dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan[13]. Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan.
Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan “inovasi” yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni term “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan[14].


E.            Good Governance di Indonesia

Pada awal 2007, Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyempurnakan Pedoman Umum Good Coorporate Governance (GCG) dan merintis pembuatan Pedoman Good Public Governance (Combined Code) yang pertama di Indonesia, dan mungkin bahkan di dunia. Ini merupakan sebuah terobosan dan bukti kepedulian terhadap penciptaan kondisi usaha yang lebih baik dan menjanjikan di Indonesia jika diterapkan dengan konsisten. Pemerintah melalui perangkatnya juga terlihat melakukan banyak pembenahan untuk memperbaiki citra pemerintah dan keseriusannya dalam meningkatkan praktik good public governance, melalui pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian telah cukup banyak temuan dan kasus yang diangkat ke permukaan dan diterapkan enforcement yang tegas[15].
Indonesia di tengah dinamika perkembangan global maupun nasional, saat ini menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian serius semua pihak. Good governance atau tata pemerintahan yang baik, merupakan bagian dari paradigma baru, yang berkembang dan, memberikan nuansa yang cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi, seiring dengan tuntutan era reformasi. Situasi dan kondisi ini menuntut adanya kepemimpinan nasional masa depan, yang diharapkan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia mendatang. Perkembangan situasi nasional dewasa ini, di cirirkan dengan tiga fenomena yang dihadapi, yaitu[16]:

1.        Permasalahan yang semakin kompleks (multidimensi )
2.        Perubahan yang sedemikian cepat (regulasi kebijakan dan aksi-reaksi masyarakat)
3.        Ketidakpastian yang relatif tinggi (bencana alam yang silih berganti, situasi ekonomi yang tidak mudah di prediksi, dan perkembangan politik yang up and down).

Kesenjangan proses komunikasi politik yang terjadi di Indonesia antara pemerintah dan rakyatnya, maupun partai yang mewakili rakyat dengan konstituennya menjadikan berbagai fenomena permasalahan sulit untuk di pahami dengan logika awam masyarakat, seperti[17]:
1.        Indonesia kaya raya potensi Sumber Daya Alam(SDA), mengapa banyak yang miskin?
2.        Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan naik drastis dalam tiga tahun terakhir ini, dari 23 trilyun (2003) menjadi 51 trilyun lebih (2007), mengapa jumlah penduduk miskin justru meningkat dari 35,10 juta (2005) menjadi 39,05 juta (2006) ? Bukankah bila anggarannya di tambah dengan tujuan untuk menanggulangi kemiskinan, jumlah penduduk miskin seharusnya dapat berkurang.
3.        Berikutnya, produksi pertanian konon surplus (meningkat) 1,1 juta dan bahkan kita oernah berswasembada pangan. Mengapa harga beras membumbung tinggi? Mengapa harus import terus? Semua ini membuat masyarakat pusing tujuh keliling karena tidak memahami kebijakan nasional.

Komunikasi politik ke bawah, secara efektif belum terjadi, sehingga hanya mengandalkan informasi dari berbagai media massa dengan variatif dan terkadang bisa berbau provokatif. Dalam situasi masyarakat seperti itu (kebingungan informasi), masyarakat tak tahu apa itu good governance.
Sekalipun pemerintah berusaha gencar memasyarakatkannya, namun proses dan cara yang salah dalam berkomunikasi justru akan di sambut dengan apatisme masyarakat. Dalam situasi masyarakat yang sedang belajar berdemokrasi, komunikasi politik yang transparan, partisipasi, dan akuntabilitas kebijakan publik menjadi sangat penting. Ini artinya, good governance menemukan relevansinya.
Laporan Global Competitiveness Report yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (WFF) yang menganalisis daya saing ekonomi dengan pendekatan, yakni pendekatan pertumbuhan ekonomin (OCI) dan pendekatan mikro ekonomi (MCI) menunjukkan bahwa peringkata daya saing perekonomian Indonesia (Growth Competitiveness Index) merosot lagi dari urutan ke 64 di tahun 2001 ke urutan 67 (dari 80 negara) di tahun 2002, dan daya saing mikro ekonomi (MCI) turun sembilan tingkat, dari urutan ke 55 menjadi urutan ke 63. Sebelumnya sebuah survey yang dilaporkan pada bulan Juni tahun 2001, yang di lakukan oleh Political and economic Risk consultancy (PERC), menempatkan Indonesia dalam kelompok dengan resiko politik dan ekonomi terburuk di antara 12 negara Asia bersama Cina dan Vietnam. Di lihat dari kebutuhan dunia akan usaha, kepercayaan investor yang menuntut adanya corporate governance berdasarkan prinsip-prinsip dan praktek yang di terima secara Internasional (Internasional Best Practice), maka terbentuknya komite internasional mengenai kebijakan corporate governance, National Comittee on Corporate Governance (NCCG) di bulan Agustus tahun 1999 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah perkembangan Good Governance di Indonesia.
Secara riil, melihat data investasi ke Indonesia selama 2007, ada perkembangan luar biasa, karena realisasi PMA naik lebih dari 100%, dengan nilai realisasi investasi yang menembus US$9 miliar. Namun, penilaian dari lembaga-lembaga internasional sepertinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam penerapan good governance secara konsisten. Berdasarkan survei World Bank 2007, ada perbaikan dalam situasi bisnis di Indonesia. Misalnya pada pembentukan usaha baru, Indonesia telah menunjukkan reformasi positif dengan percepatan pemberian persetujuan lisensi usaha dari Departemen Kehakiman dan simplifikasi persyaratan usaha.
Selain itu, Indonesia telah melakukan pencatatan semua kreditur dalam “credit registries”, dan memperbesar pagu kredit hampir lima kali lipat. Ini tentu akan memudahkan para entrepreneur untuk menambah modal usaha, selain menjaga terhadap risiko pemberian kredit bermasalah. Juga ada perbaikan dalam peng-eksekusi-an kontrak di Indonesia[18].
Walaupun demikian, dalam urutan peringkat Indonesia malah menurun. Dari total 175 negara, Indonesia berada di posisi 135, turun empat peringkat dibandingkan dengan tahun 2006. Dari sini bisa disimpulkan bahwa penerapan governance yang baik di Indonesia sudah mengalami kemajuan. Namun, negara-negara lain tampaknya berlari lebih cepat dibandingkan dengan Indonesia, karena mereka yakin dengan upaya demikian mereka unggul dalam menarik investasi.
Survei ACGA (Asian Corporate Governance Association) tentang praktik corporate governance di Asia juga menyebutkan penerapan indikator CGG di Indonesia semuanya berada di bawah rata-rata. Indikator ini meliputi prinsip dan praktik governance yang baik, penegakkan peraturan, kondisi politik dan hukum, prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan kultur[19].
Dalam laporan itu disebutkan beberapa hal yang baik di Indonesia.
1.        Pertama, walaupun kondisi pelaporan keuangan di Indonesia belum memadai, kualitas pelaporan keuangan kuartalan ternyata cukup bagus.
2.        Kedua, Indonesia ternyata juga memiliki kerangka hukum yang paling .strict dalam memberikan perlindungan untuk pemegang saham minoritas, khususnya dalam pelaksanaan preemptive rights (hak memesan efek lerlebih dahulu).
3.        Ketiga, gerakan antikorupsi yang dilakukan pemerintah telah menunjukkan hasil cukup positif. Ditambah lagi, penyempurnaan Pedoman Unium CGG, dan Pedoman CGG sektor perbankan yang dilakukan di Indonesia. Namun, masih menurut laporan tadi, belum banyak yang percaya bahwa pemerintah cukup serius mendorong penerapannya.
Selanjutnya, seorang pengamat mencoba mengkaji kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia, beliau menyimpulkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan, apabila Indonesia akan menciptakan pemerintahan yang baik, antara lain :

1.        Bagaimana relasi antara pemerintah dan rakyat
2.        Bagaimana kultur pelayanan publik
3.        Bagaimana praktek KKN
4.        Bagaimana kuantitas dan kualitas konflik antara level pemerintah
5.        Bagaimana kondisi tersebut di provinsi dan kabupaten/kota

Dari kajian yang dilaksanakan, maka ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien dan tidak efektif, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1.        Relasi antara pemerintah dan rakyat berpola serba negara
2.        Kultur pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan
3.        Patologi pemerintah dan kecenderungan KKN
4.        Kecenderungan lahirnya etno politik yang kuat
5.        Konflik kepentingan antar pemerintah


Bab III
Penutup

A.           Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.        Good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.
2.        Prinsip-prinsip Dasar Good Governance, yaitu:
a.        Akuntabilitas
b.        Pengawasan
c.         Daya Tanggap
d.        Profesionalisme
e.        Efisiensi dan Efektivitas
f.          Transparasi
g.        Kesetaraan
h.        Wawasan ke depan
i.          Partisipasi
j.          Penegakkan Hukum
3.        Good Governance mengalami perjalanan yang cukup panjang dan penerapannya masih perlu perbaikan.


B.           Saran
Penerapan Good Governance di Indonesia maupun di beberapa negara masih perlu adanya evaluasi dan perbaikan demi terselenggaranya kehidupan bernegara yang lebih baik lagi.
Pembuatan makalah Good Governance memerlukan banyak sumber yang mendukung. Banyak sumber yang mencantumkan perbedaan pendapat, namun masih dalam pokok yang sama, maka diperlukan kecermatan dalam memilah materi bagi penulis.





Daftar Pustaka

Sumber Buku:

Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press. 2009

Farazmand, Ali. Sound Governance, Piliticy and Administrative Innovation. Wastport : Praeger. 2004

Nugroho, D. Riant. Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:Gramedia.  2004

Tangkilisan, Hessel Nogi S. Manajemen Publik. Jakarta: Grassindo. 2005

Ubaidillah, A dan Abdul Rozaq. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press. 2007

Sumber Internet dan Jurnal:

Anonim. Sepuluh Prinsip Good Governance. 2010. http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html. [Diakses pada 20.15 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]

Anonim. Ilmu Administrasi Negara. 2013. eJournal. [Diakses pad 13.00 WIB, Rabu, 9 Desember 2015]

Anonim. Pengertian Good Governance menurut Ahli. 2011. http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067. [Diakses pada 16.05 WIB, Sabtu, 5 Desember 2015]

Mardoto. Mengkritisi Good Governance di Indonesia. 2009. http://mardoto.com/2009/04/30/suara-mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/. [Diakses pada 21.00 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]

[Diakses pada 20.00 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]






[1] Anonim, Ilmu Administrasi Negara, 2013, 1 (2):  196-209  hal :3, (eJournal)
[2] Anonim, Pengertian Good Governance menurut Ahli, 2011, (http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067)
[3] A. Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE  UIN Syarif Hidayatullah, 2007), Cet. IV, hal, 215.
[4] Yenny, Prinsip-prinsip Good Governance, vol. 1, 2013, p. 3, (http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/EJOURNAL%20YENNY%20(03-02-13-06-48-29.pdf).
[5] Riant D. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi, (Jakarta:Gramedia, 2004), hal, 216.
[6] Ibid.
[7] Hessel Nogi S. Tangkilisan, Manajemen Publik, (Jakarta: Grassindo,2005), hal, 115.
[8] Ibid, hal, 177.
[9] A. Ubaidillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2007), hal, 218-228.
[10] Anonim, Sepuluh Prinsip Good Governance, 2010, (http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html).
[11] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press, 2009).
[12] Ali Farazmand, Sound Governance, Politicy and Administrative Innovation, (Wastport : Praeger, 2004).
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.


4 komentar: